Oleh: Edo Parikesit
Hak Atas Kekayaan Intelektual atau yang juga sering
disebut dengan Hak Kekayaan Intelektual[1]
apabila diklasifikasikan termasuk dalam Hukum Perdata, yang merupakan salah
satu kodifikasi hukum nasional. Jika diklasifikasikan lebih dalam lagi,
terdapat pada bidang hukum perdata yang merupakan bagian hukum benda. Khusus
mengenai hukum benda sendiri terdiri atas hak benda materil dan immateril[2].
Selanjutnya Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) dibagi lagi dalam beberapa bidang,
yaitu Hak Cipta (copy rights)[3] dan Hak Kekayaan
Industri (Industrial Property Rights).
Hak Cipta sendiri merupakan hak eksklusif hasil pemikiran atau kreasi manusia
yang berupa seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Hak Cipta memiliki perlindungan
hukum yang sangat luas karena tidak hanya menyangkut perlindungan dalam lingkup
nasional, namun juga menembus dinding-dinding negara.
Sama halnya seperti Hak Cipta, Hak Kekayaan Industri yang
terdiri dari merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, varietas
tanaman dan rahasia dagang, perlindungannya juga menembus dinding-dinding
negara.
Dalam diskusi kali ini pokok bahasan utamanya adalah
terpusat pada Hak Cipta saja.
Hak Cipta
Undang-undang
tentang Hak Cipta yang saat ini berlaku di Indonesia adalah UU No. 28 Tahun
2014 Tentang Hak Cipta.[4]
Dalam hal ini, Hak Cipta merupakan hak kebendaan yang dalam Bahasa Belanda
disebut dengan zakelijk recht. Menurut Prof. Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, rumusan tentang hak kebendaan yaitu: “hak mutlak atas suatu
benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga”.[5]
Dalam
tradisi common law system, obyek
utama dari perlindungan Hak Cipta adalah ciptaan atau karya cipta. Hal ini
didasari oleh rasionalitas ekonomi dari Hak Cipta itu sendiri untuk memberikan
insentif kepada pencipta yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya serta
resiko kerugian dalam memasarkan ciptaannya.
Dengan
latar belakang pemikiran itu, UU Hak Cipta lebih tepat jika dikatakan sebagai
instrumen ekonomi, bukan instrumen hukum.
Copyright dijabarkan dalam bentuk pembatasan-pembatasan, yaitu apabila yang
menjadi hak pencipta tidak boleh diambil atau dimanfaatkan oleh orang lain
tanpa izin. Izin pemanfaatan dapat diberikan secara kasus demi kasus dan secara
normatif dalam bentuk kebebasan masyarakat untuk memanfaatkan hak cipta tanpa
dianggap sebagai pelanggar hak, konsep ini biasa disebut sebagai fair use atau fair dealing.
Ketentuan
mengenai pembatasan dikembangkan melalui logika ekonomi yaitu larangan untuk
mengganggu kepentingan yang wajar dari pencipta. Hal ini diatur dalam Article 9 (2) Bern Convention: “It shall be a matter for legislationin the countries
of the Union to permit the reproduction in such works in certain special cases,
provided that such reproduction does not conflict with a normal exploitation of
the work and does not unreasonably the legitimate interest of the auothor”.
Apa
yang dimaksut dengan kepentingan yang wajar pada dasarnya adalah kepentingan
ekonomi, yaitu kepentingan untuk menikmati manfaat yang melekat pada ciptaan.
Berdasar hal tersebut, masyarakat dapat memanfaatkan ciptaan sepanjang tidak
untuk kepentingan komersial.
Dalil
lainnya dalam Konvensi Bern adalah pada Article
10 (3): “Where use is made of works
in accordance with the preceding paragraphs of this Article, mention shall be
made of the source, and of the name of the author if it appears thereon”.
Adapun kewajiban untuk tetap menghormati Hak Moral yaitu dimanifestasikan dalam
bentuk kewajiban untuk tetap mempertahankan keutuhan ciptaan.
Dengan
kata lain, dilarang mengubah atau mengganti suatu ciptaan sehingga dapat
mendistorsi martabat dan integritas pencipta. Meskipun tetap mengatur tentang
Hak Moral, tetapi Common Law System
tidak terlalu mementingkan tentang Hak Moral.[6]
Sedangkan
untuk pengaturannya dalam negara Civil
Law System, pencipta adalah subyek sekaligus obyek perlindungan Hak Cipta.
Di kalangan negara-negara civil law,
Hak Cipta ditumpukan kepada konsep kekayaan yang merupakan manifestasi dan
eksistensi dari si pencipta. Karena itu maka hukum Hak Cipta menjadi sebuah
instrumen hukum.
Model Civil
Law System ini mensyaratkan harus adanya keaslian ciptaan (originality) serta kreatifitas
penciptanya (creativity). Berbeda
dengan Common Law System ,
persyaratakn yang harus dipenuhi adalah hanyalah asal muasal ciptaan.
Hak Cipta ini, apabila kita bagi lebih lanjut, akan
menjadi 2 sub yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Hak Moral merupakan perlindungan
terhadap pencipta agar integritas pencipta ini tetap terjaga. Seperti
pencantuman nama pencipta meskipun haknya telah diserahkan atau dialihkan
kepada orang lain dan pelarangan terhadap perubahan ciptaan tersebut.
Hak Moral inilah pembeda yang paling esensial antara
Hak Cipta dengan hak kebendaan lain. Katakanlah Hak Milik Atas Tanah, ketika
Hak Milik tersebut telah dialihkan (dijual atau dihibahkan) kepada pihak lain,
maka nama pemilik terakhir ini dianggap sebagai pemegang hak tersebut.
Setelah itu terdapat Hak Ekonomi, dimana Hak Ekonomi
ini merupakan hak yang paling dijaga dimanapun baik itu di negara-negara Common Law System ataupun Civil Law System. Jelas begitu karena
seperti yang telah dijelaskan di awal tadi, bahwa perlindungan Hak Cipta ini
diberikan untuk memberikan insentif kepada si pencipta.
Terakhir, Hak Cipta yang merupakan hak untuk
melindungi pencipta terhadap Hak Moral dan Hak Ekonominya ini tidak serta merta
bebas dari kritikan. Dalam sebuah tulisan yang dirilis di Amerika Serikat
tentang Hak Cipta dijelaskan sebagai berikut: “The newspaper you read this morning, the television you watched last
night, the movie you are going to see this week end, the computer software you
use to prepare your letters or send e-mail, the music you listen in the car on
your way work: they are all copyrighted. Copyright permeates our lives...”[7]
Selanjutnya ditambahkan bahwa: For many people outside America (and many inside), materials aren’t
distributed because of copyright laws, so it might be more relevant to explain
copyright this way: “The newspaper you couldn’t get this morning, the
television show you couldn’t get last night, the movie you can’t see this week
end, the computer software you can’t use to prepare your letters or send
e-mail, the music you can’t listen in the car on your way to work: they are all
copyrighted. Copyright permeates your life...”
Sindiran tersebut diberikan karena dirasakan Hak
Cipta telah melenceng dari arah tujuan semula, yaitu kesejahteraan umat
manusia. Betapa tidak, masyarakat harus menerima batasan-batasan dari Hak Cipta
yang melindungi produk yang dibelinya. Tidak boleh mengcopy, tidak boleh
menggandakan, tidak boleh menyewakan, apalagi untuk kepentingan komersial.
Hak Cipta bukan lagi sebuah karya yang hanya
dibangun atas dasar cipta, rasa dan karsa, Hak Cipta ini bukan lagi sebuah
ungkapan seni murni (pure art),
tetapi justru lebih ddiwarnai oleh upaya komersialisasi bahkan tidak jarang
untuk memaksimalisasi keuntungan.
Keadaan tersebut sebenarnya bertentangan dengan di
Indonesia, yang pada mulanya sebuah karya cipta pada masa lalu dibangun dari
filosofi, gotong-royong, komunal, kebersamaan, tidak monopoli, tidak
menonjolkan nama-nama pribadi, dst. Tetapi dalam perkembangannya saat ini dapat
kita lihat sendiri bahwa justru kebanyakan karya cipta di Indonesia diupayakan
untuk diregistrasi dengan nama pribadi, dengan maksud untuk mendapatkan hak
pribadi.
Apabila hak pribadi itu telah diperolehnya, biasanya
akan diikuti dengan melarang orang lain menggunakannya tanpa izin, yang berarti
diikuti dengan hak monopoli. Sehingga tren yang terjadi di Indonesia justru ke
arah individualistik, monopolistik, bukan lagi komunal, kebersamaan.[8]
[1] Menurut
Prof. Dr. Etty Susilowati, S.H., M.S., penghapusan kata “Atas” dalam Hak Atas
Kekayaan Intelektual karena ambiguitas yang terdapat didalam kata “Atas”.
Apabila ada kata “Atas” maka seharusnya ada kata “Bawah” pula.
[2] H. OK.
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual, Rajawali Pers, Depok, 2013, hlm. 4
[3] Istilah
“copy rights” biasa digunakan di
dalam negara Anglo-Saxon sedangkan
dalam negara Eropa Kontinental digunakan istilah “auto rights”. Namun dalam perkembangannya negara-negara Eropa
Kontinental mengikuti istilah dari negara Anglo-Saxon.
[4]
Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2002.
[5] Sri
Soedewi, Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata:
Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 24.
[6] Henry
Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Rajawali
Pers, Jakarta, 2011, hlm. 24-25.
[7] Justin
Hughes, The Philosophy of Intellectual
Property, dalam www.harvard.edu
[8] Budi
Santoso, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, 22 Maret 2011, Semarang
No comments:
Post a Comment