Oleh: Edo Parikesit
Pada hukum Indonesia memiliki
prinsip-peinsip dalam perjanjian. Terlebih dahulu perlu dipketahui perbedaan
pengertian perikatan dan perjanjian. Pada dasarnya buku III KUHPer sendiri
tidak mengatur tentang definisi dari perikatan. Namun perikatan sendiri
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “verbintenis”.
Dengan istilah perikatan dapat kita
lihat adanya suatu hubungan timbal balik antara pihak atau orang satu dengan
pihak lain atau orang yang lainnya, bahwa dengan dengan adanya perikatan
tersebut masing-masing pihak satu dengan lainnya memiliki hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi dan apabila ada salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya,
maka pihak lainnya dapat menuntutnya di pengadilan. Oleh karena hal yang
mengikat itu selalu ada, maka oleh Undang-Undang hal tersebut diakui dan diberi
akibat hukum, maka dari itu hubungan dari dua orang atau pihak tadi dapat
dikatakan sebagai hubungan hukum.
Dari sumber-sumber perikatan yang telah ada (Pasal 1233 KUHPer, doktrin, hukum yang tidak tertulis dan putusan hakim), yang paling penting adalah perjanjian, karena para pihak mempunyai kebijakan untuk mengadakan segala jenis perjanjian sepanjang itu tidak bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Perikatan dalam ranah Hukum Perdata timbul karena perjanjian yang dibuat secara sah berdasarkan Pasal 1388 ayat (1) KUHPer dan juga Pasal 1233 KUHPer. Diakuinya perjanjian yang berlaku sebagai undang-undang tersebut membuat kedua belah pihak saling mengikatkan diri yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang perlu diwujudkan, hal inilah yang disebut sebagai prestasi.
Selanjutnya apabila kewajiban berprestasi ini dilanggar atau salah satu pihak ingkar janji maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pihak yang ingkar janji (wanprestasi) melalui pengadilan. Dalam rumusan pasal 1313 dan 1314 KUHPer, bila dikembangkan lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban tersebut dapat meminta untuk dilakukan “kontra prestasi” dari lawan pihaknya tersebut atau dengan istilah “dengan atau tanpa beban”.
ASAS
Ada beberapa asas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, asas-asas umum dalam perjanjian meliputi:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap perjanjian yang dibuat sah dan berlaku
sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Asas ini dapat kita temukan pada
Pasal 1338 KUHPer, yang dipertegas melalui ayat (2)-nya. Secara umum, para ahli
hukum menghubungkan antara Pasal 1338 dengan Pasal 1320 KUHPer sebagai asas
kebebasan berkontrak.
Asas ini memberikan jaminan kepada setiap orang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmadi Miru, diantaranya:
a.) Bebas menentukan apakah dia akan melakukan perjanjian atau tidak
b.) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan
perjanjian
c.) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
d.) Bebas menentukan bentuk perjanjian
e.) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak ini memurapakan suatu dasar yang menjamin kebebasan setiap orang dalam berkontrak. Hal ini tidak terlepas dari KUHPer buku III yang sifatnya adalah hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat mengesampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal yang sifatnya memaksa.
b. Asas Konsensualitas
Asas Konsensualitas berasal dari bahasa latin consensus yang berarti sepakat. Dalam asas ini bukan berarti asas konsensualitas adalah asas untuk mensyaratkan adanya kesepakatan, namun ia adalah perjanjian dan perikatan yang timbul sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain sebuah perjanjian telah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.
Asas ini dapat kita temukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPer. Pada pasal 1320 KUHPer sudah jelas dari penjabarannya sedangkan pada pasal 1338 KUHPer dapat kita temukan dalam istilah “semua”. Kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas sehingga perjanjian ini dikatakan sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan merupakan syarat terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan dengan perjanjian konsensuil.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian yang tersimpul dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang.
Dan kalimat ini tersimpul pula larangan bagi semua pihak termasuk didalamnya “hakim” untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. oleh karena itu, asas ini disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang dan para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Asas Iktikad Baik
Asas ini terkandung dalam Pasal 1338 KUHPer yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat haruslah berdasarkan dengan iktikad baik. Menurut Subekti, pengertian dari iktikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subjektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).
e. Asas Personalia
Asas ini dapat kita temukan pada Pasal 1315 KUHPer
dan ditegaskan lagi pada Pasal 1340 KUHPer. Pada kedua rumusan tersebut
tersimpulkan bahwa pada daarnya perjanjian hanya akan melahirkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
seseorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian
pihak ketiga, kecuali dalam hal adanya peristiwa penanggungan.